Jalaluddin Rumi - Penyair dan tokoh sufi terbesar dari Persia


Ia berkata, "Siapa itu berada di pintu?"
Aku berkata, "Hamba sahaya Paduka."
Ia berkata, "Kenapa kau ke mari?"
Aku berkata, "Untuk menyampaikan hormat padamu, Gusti."
Ia berkata, "Berapa lama kau bisa bertahan?"
Aku berkata, "Sampai ada panggilan."
Aku pun menyatakan cinta, aku mengambil sumpah
Bahwa demi cinta aku telah kehilangan kekuasaan.
Ia berkata, "Hakim menuntut saksi kalau ada pernyataan."
Aku berkata, "Air mata adalah saksiku, pucatnya wajahku adalah buktiku."
Ia berkata, "Saksi tidak sah, matamu juling."
Aku berkata, "Karena wibawa keadilanmu mataku terbebas dari dosa."



Syair religius di atas adalah cuplikan dari salah satu puisi karya penyair sufi terbesar dari Persia, Jalaluddin Rumi. Kebesaran Rumi terletak pada kedalaman ilmu dan kemampuan mengungkapkan perasaannya ke dalam bahasa yang indah. Karena kedalaman ilmunya itu, puisi-puisi Rumi juga dikenal mempunyai kedalaman makna. Dua hal itulah --kedalaman makna dan keindahan bahasa-- yang menyebabkan puisi-puisi Rumi sulit tertandingi oleh penyair sufi sebelum maupun sesudahnya.

Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi ia juga tokoh sufi yang berpengaruh pada zamannya. Rumi adalah guru nomor satu tarekat Maulawiah --sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Tarekat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman pada sekitar tahun l648.

Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewa-dewaan akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Pada zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit itu.

Bagi kelompok yang mengagul-agulkan akal, kebenaran baru dianggap benar bila mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, cepat-cepat mereka ingkari dan tidak diakui.

Padahal, menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah yang dapat melemahkan iman kepada sesuatu yang ghaib. Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula, kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat mata, yang diajarkan berbagai syariat dan beragam agama samawi, bisa menjadi goyah.

Rumi mengatakan, "Orientasi kepada indera dalam menetapkan segala hakekat keagamaan adalah gagasan yang dipelopori kelompok Mu'tazilah. Mereka merupakan para budak yang tunduk patuh kepada panca indera. Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah. Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula memanjakannya."

Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum pernah meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akan selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah penyembuhan yang terkandung dalam obat. "Padahal, yang lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya. Bukankah Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya?" tegas Rumi.

PENGARUH TABRIZ. Fariduddin Attar, seorang tokoh sufi juga, ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak bakal menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat, ramalan Fariduddin itu tidak meleset.

Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207 Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).

Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama (raja ulama). Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan merekapun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru beruisa lima tahun.

Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.

Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Ia baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar pada perguruan tersebut.

Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, ia juga menjadi da'i dan ahli hukum Islam. Ketika itu di Konya banyak tokoh ulama berkumpul. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia.

Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika ia sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama, ia juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika ia berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin alias Syamsi Tabriz.

Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba- tiba seorang lelaki asing --yakni Syamsi Tabriz-- ikut bertanya, "Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?" Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat pada sasarannya. Ia tidak mampu menjawab. Berikutnya, Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, ia mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi. Ia berbincang-bincang dan berdebat tentang berbagai hal dengan Tabriz. Mereka betah tinggal di dalam kamar hingga berhari-hari.

Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, "Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya."

Rumi benar-benar tunduk kepada guru barunya itu. Di matanya, Tabriz benar-benar sempurna. Cuma celakanya, Rumi kemudian lalai dengan tugas mengajarnya. Akibatnya banyak muridnya yang protes. Mereka menuduh orang asing itulah biang keladinya. Karena takut terjadi fitnah dan takut atas keselamatan dirinya, Tabriz lantas secara diam-diam meninggalkan Konya.

Bak remaja ditinggalkan kekasihnya, saking cintanya kepada gurunya itu, kepergian Tabriz itu menjadikan Rumi dirundung duka. Rumi benar-benar berduka. Ia hanya mengurung diri di dalam rumah dan juga tidak bersedia mengajar. Tabriz yang mendengar kabar ini, lantas berkirim surat dan menegur Rumi. Karena merasakan menemukan gurunya kembali, gairah Rumi bangkit kembali. Dan ia mulai mengajar lagi.

Beberapa saat kemudian ia mengutus putranya, Sultan Salad, untuk mencari Tabriz di Damaskus. Lewat putranya tadi, Rumi ingin menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf atas tindakan murid-muridnya itu dan menjamin keselamatan gurunya bila berkenan kembali ke Konya.

Demi mengabulkan permintaan Rumi itu, Tabriz kembali ke Konya. Dan mulailah Rumi berasyik-asyik kembali dengan Tabriz. Lambat-laun rupanya para muridnya merasakan diabaikan kembali, dan mereka mulai menampakkan perasaan tidak senang kepada Tabriz. Lagi-lagi sufi pengelana itu, secara diam-diam meninggalkan Rumi, lantaran takut terjadi fitnah. Kendati Rumi ikut mencari hingga ke Damaskus, Tabriz tidak kembali lagi.

Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga ia menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, ia tulis syair- syair, yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan-i Syams-i Tabriz. Ia bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat-i Syams Tabriz.

Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syekh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, ia berhasil selama 15 tahun terakhir masa hidupnya menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi-i. Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain. Karya tulisnya yang lain adalah Ruba'iyyat (sajak empat baris dalam jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang tasawuf), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya).

Bersama Syekh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan tarekat Maulawiyah atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (Para Darwisy yang Berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.

WAFAT. Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan, gara-gara mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, sakit keras. Meski menderita sakit keras, pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya.

Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo'akan, "Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan." Rumi sempat menyahut, "Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga kafir dan pahit."

Pada 5 Jumadil Akhir 672 H dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desak ingin menyaksikan. Begitulah kepergian seseorang yang dihormati ummatnya.


Read more!

Ikhwanul Muslimin: Kekuatan Islam di Mesir (Bhgn 1)

Membahas peta kekuatan politik Islam di Mesir tidak bisa lepas dari membincangkan gerakan Persaudaraan Islam atau Ikhwanul Muslimin (IM) yang didirikan oleh Asy-Syahid Hasan Albana hampir tujuh dekade lalu. Bahkan banyak gerakan Islam dunia, di Asia, Australia, Eropa, maupun Amerika, terinspirasi dari gerakan al-Ikhwan ini.

Tidak aneh jika kekuatan politik Barat yang sekuler melihat IM sebagai salah satu ganjalan terberatnya dan lewat berbagai konspirasi di medan nyata maupun media, mereka banyak melontarkan fitnah keji bahwa IM berada di balik semua aksi teror hingga kini.

Kemunculan gerakan IM tidak bisa lepas dari perjalanan dakwah Islam di dunia Arab itu sendiri, bukan hanya di Mesir. Ada rentang yang teramat jauh hingga menunjuk sekitar abad ke 700 Masehi atau tepatnya tahun 661 M di mana saat itu Muawiyah bin Abi Sufyan menjadi khalifah pertama dalam apa yang sekarang kita kenal sebagai masa Dinasti Muawiyah.

Dunia Islam menyikapi naiknya Muawiyah sebagai khalifah dengan dua wajah yang saling bertentangan secara diametral: ada kelompok yang menolaknya dan ada pula yang menerima bulat-bulat.

Kelompok yang menolak kekhalifahan Muawiyah menganggap penguasa ini mendapat kekuasaan secara tidak sah. Walau demikian, kelompok yang anti ini juga terbagi dua yaitu mereka yang menolak dengan tegas dan telah menyusun perencanaan matang untuk meluruskan jalan kekhalifahan Islam, dan ada pula yang juga menolak namun mereka lebih memilih jalan aman yaitu melarikan diri kepada Islam ritual guna menghindari bentrokkan dengan penguasa. Yang terakhir ini antara lain diwakili oleh kalangan sufi atau tarekat-tarekat.

Kelompok kedua adalah mereka yang bisa menerima kekuasaan Muamiyah secara bulat. Kelompok yang beraliran politik ”Daripada-Mendingan” alias pragmatis ini beranggapan bahwa biapun Muawiyah jauh dari citra Islam politik yang sesungguhnya, tapi minimal Muawiyah bagaimana pun telah mempersatukan umat Islam di bawah sebuah negara yang berdaulat.


Kelompok yang terakhir ini juga melihat bahwa Muawiyah masih bisa dianggap sebagai cermin dari kekhalifahan Islam antara lain dia tidak melarang umat untuk meyakini rukun iman dan menjalankan rukun Islam yang lima. Hal ini melahirkan golongan umat Islam yang lebih khusyuk dengan hal-hal yang bersifat pribadi atau ubudiyah dan saat ini dikenal sebagai kelompok Islam tradisonal.

Kelompok pertama yang secara tegas ingin menjalankan syariat Islam secara kaffah, walau hal itu harus berhadapan dengan penguasa, secara terencana menyusun langkah demi langkah—marhalah dakwah—agar suatu saat nanti bisa membentuk sebuah pemerintahan yang lebih Islami. Cita-cita yang sedemikian jelas ini membuat banyak penguasa geram dan melakukan penumpasan terhadap tokoh-tokohnya.

Kelompok inilah yang menjadi cikal bakal gerakan Islam modern seperti halnya gerakan al-Ikhwan yang bermula di Mesir.

Kiprah Al-Ikhwan

Gerakan al-Ikhwan didirikan di kota kecil di pinggir terusan Suez bernama Ismailiyah, Mesir, oleh seorang guru yang menjalani kehidupannya dengan penuh kesederhanaan bernama Hasan al-Banna, bulan Maret 1928. Saat Albana mendirikan Ikhwan, sebenarnya dia baru lulus dari Darul Ulum, sebuah lembaga pendidikan guru di Kairo. Setelah lulus, Albana oleh pemerintah Mesir ditempatkan di Ismailiyah guna mengajar di sebuah sekolah lanjutan pertama.

Sebagai seorang ’kutu buku’ dan gemar mengamati perkembangan sejarah dan politik di Mesir dan juga Dunia Islam keseluruhan, Albana meyakini jika Islam-lah satu-satunya solusi bagi kemerdekaan sejati seorang manusia dan juga bangsa. Setiap hari Albana membincangkan hal ini, menularkan semangat keIslamannya kepada semua yang diajaknya bicara. Di kelas, Albana bukan sekadar seorang guru yang secara formal mengajarkan materi pelajaran secara kaku, namun dia dengan penuh kecintaan dan juga semangat berusaha dengan sekuat tenaga menanamkan kepada anak didiknya pemahanan yang lurus tentang Islam, yang berawal dari pemahaman yang benar tentang syahadatain.

Setelah mengajar, Albana sering berkunjung ke kedai-kedai kopi yang memang banyak bertebaran di Ismailiyah dan menjadi tempat berkumpulnya warga kota. Di tempat yang strategis ini, dirinya berdialog dengan siapa saja yang dijumpainya dan menyampaikan segala apa yang menjadi cita-citanya. Saat adzan bergema, Albana selalu berangkat ke masjid terdekat dan mendirikan solat bersama warga lainnya. Dakwahnya di kedai-kedai kopi ini sering dilakukan sampai malam hari sehingga lama-kelamaan banyak warga Ismailiyah yang mengenal Albana sebagai seorang yang pintar, berkepribadian hangat, murah senyum, dan shalih. Banyak warga kota yang menjadikan Albana sebagai tempat mencari nasehat atau solusi bagi permasalahan yang tengah dihadapinya.

Dakwah yang dilakukan Albana tidak hanya dilakukan di Ismailiyah, namun juga di kota-koa lainnya di seluruh negeri. Ini dilakukannya di saat liburan panjang di setiap musim panas. Albana selalu bepergian ke berbagai wilayah, kota maupun desa, dan menyampaikan dakwahnya. Walau telah dikenal sebagai seorang tokoh, namun kesederhanaan seorang Albana tidaklah luntur. Ketika bepergian ke luar daerah, Albana masih saja suka menumpang kendaraan umum.

Pernah satu ketika ada seorang ikhwah yang menjumpai Albana tengah naik kereta api kelas rakyat. Albana ditanya mengapa masih saja bepergian naik kereta rakyat. Dengan senyum yang begitu tulus, Albana menjawab bahwa dirinya naik kereta ini karena tidak ada lagi jenis kereta yang lebih sederhana dan murah. Jika saja ada kereta yang lebih murah, maka dirinya akan memilih menumpang kendaraan tersebut. Mendengar jawaban yang keluar dari hati yang penuh keikhlasan, sang ikhwah pun begitu terharu. Hal ini menjadikannya lebih bersemangat untuk tetap berjuang di jalan dakwah ini. Mungkin lain halnya jika sang Mursyid Aam ini menumpang sebuah mobil mewah atau kereta api kelas VIP. (rz/bersambung)


Dipetik dari portal Eramuslim
Read more!

Finding the Way - Ins and Outs of Choosing a Job

By Khaled G. Mohammad

Staff Writer — IslamOnline.net


Image
We all start our careers full of hope. There exists this passion to achieve something, to be something. What that thing is remains a bewildering question for many.

What a Burden!

Bearing in mind that what kind of job, and hence career, you choose in your twenties might very well change the whole course of your life, the burden of such a choice may weigh heavily upon you.

But have no fear, career counselors are all over the place nowadays! The beauty about this is that although the best way is to sit down with a flesh-and-blood adviser and discuss your potentials and aspirations, you can still find answers to many of your career-related questions on the Internet, at bookstores, and at your local library.

The fastest way to get an answer is to jot down whatever question you have into a search engine and hit Enter. You will probably be overwhelmed with the number of results you get. Googling [at the time of writing this article] "how to choose a job" brings about 17,000,000 results! Yes, that is 17 million. So, you won't be short on online resources when you need them!



Know Thyself

The very first step in solving a problem is defining it. The same applies to the solution part: The first part in coming up with a solution is knowing your strengths and weaknesses. Ask yourself: What am I really good at? If you cannot come up with an answer quickly, enlist the help of your family and friends (and teachers or instructors if any); they will definitely offer you an insight into that.

Hinting at the answer for this question is another one: What do I enjoy doing? This one is all yours to answer; see what kind of activities is fun for you. Keep in mind that, theoretically, anything you enjoy doing may turn dull and boring after doing it over and over and over.

Here comes into play an important factor. Which activities bring you a sense of achievement? Knowing what makes your cheeks puffy with pride is an easy way to answer this one. This point has proven itself to be quite vital; it is the one thing that will keep you going on in your chosen career. The need of fulfillment is what has made people remain steadfast in careers that might drive others away in no time.

Take humanitarian work as an example: People who have chosen it as their career often face obstacles from several factors, be that uncooperative authorities, suspecting victims, and — most probably — lack of funds. But this does not in the least hinder them from carrying on.

Know Thy... Enemy!

Your enemy here won't be a colleague vying for what you want for yourself, be that at school, college, university, work, or a sports field. In fact, this enemy of yours won't be a person at all!
It is the job market that you will be in some kind of constant war with. Strange as that may sound, it is true. People treading for the first time into the job market (job seekers, that is) are often confronted with an employer's question: Do you have what I am looking for?

Simple yet essential, this question when answered in the affirmative may be your guaranteed ticket into the workplace and the job you dream of.

So you need to know how your field of choice (the one you enjoy doing and derive a sense of achievement out of) can fit in.

Find out where it is needed. Browse the Internet for information about your chosen field, scan your local newspapers and magazines for job-offer announcements, ask acquaintances what they know or whom they know that may be of help to you.

Also remember this one thing about the job market: It constantly changes. What employers vigorously search for now may not be their main concern in a couple of years. Try adjusting your career of choice to these ever-changing needs.

Beware of falling into the lure of an attractive, fun job that would probably be out of vogue as time passes by. Remember those online ventures that boomed in the late 1990s in the US? The "dotcom bubble"? Whole businesses were established solely on the notion of online presence of those businesses; the problem is that they had no real presence in the real world. Toward the end of 2001, most of them dramatically tumbled (The Dotcom Bubble). Imagine how many people lost their jobs in the wake of that big incident?

Luckily, the tuning of your choice does not have to be drastic. A few actions on your side can keep your boat sailing safely through the job market ocean!

First and foremost, enhance your skills and look into acquiring new ones. Consider this example, a journalist who does not like using computers! Putting in mind that this person lived and worked in the 1970s, a news agency or newspaper would find no problem at all dealing with him or her. But what are the chances of this person finding a job as a journalist or correspondent nowadays?! Yes, that would be almost nil. A quarter of a century ago, computer skills were unique and exclusively taught to those whose work called for such skills. Nowadays, a child who has not celebrated his or her 10th birthday yet can use a computer as efficient as he or she rides a bicycle.

Another thing you can do to stay tucked in the job market is networking. Getting to know more and more people always proves useful, especially if these people are in the business you like. A tip from here and a hint from there could make you a wanted person everywhere!

Shifting Gears

After spending a couple of years in the same business, you might find that you have grown tired of it. This should not be a problem in any way. All you have to do is to go through that process of finding what you enjoy and take pride in doing then to squeeze it into the job market. Voila! You got yourself a fresh start.

Now let me ask you, are you happy with your career choice?

Sources

Peter, Ian. "History of the Internet: The Dotcom Bubble." Net History. Accessed 2 April 2008.


Khaled G. Mohammad is a staff writer, and IslamOnline.net's Copyediting Unit Head. He can be reached at youth_campaign@iolteam.com.




Read more!

Surat bantahan PAS kepada kerajaan Mesir

His Excellency Hani Abdel Kader Ahmed Shash
Ambassador
Embassy of the Arab Republic of Egypt
No 28 Lingkungan U Thant Off Jalan U Thant 55000 Kuala Lumpur

Fax no: +603-4257 3515

Your Excellency,

RE:UNJUST PRISON TERMS FOR KHAIRAT AL-SHATER AND OTHER MUSLIM BROTHERHOOD DEFENDANTS

I am deeply concerned about the unjust prison term of seven years which has been given to Khairat Al-Shater, third-in-command at Muslim Brotherhood (MB), in the trial verdict announced on 15 April 2008 in Egypt. Several of his co-defendants have also been sentenced to prison terms of between three to ten years.

I am shocked at this blatant disregard of justice and human right values that has been demonstrated by your country with regards to MB political activists in the past year. Mr Al-Shater and the other detained MB leaders, known in the Egyptian society for their good standing and reputable position, were arrested over accusations which they completely denied and denounced. They were subjected to trumped-up charges of terrorism, money-laundering and financing a banned organization with little or no evidence to substantiate these claims. This is evident from the fact that a civilian court absolved them of all charges, declared them to be innocent and ordered their release. However, they were re-arrested to be tried in a military court for non—military related charges. Their financial assets were ordered to be frozen. Many injustices and breaches of international human rights standards were reported throughout this trial.

Now, after spending over a year in prison, these innocent civilians have been given prison sentences for no apparent reason other than the fact that they used their right to freedom of speech and freedom of association to denounce the unjust practices of the current Egyptian government.

Your country is a state party to the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), and is obliged to provide freedom of expression and association to its civilians and uphold the rights of the detainees. Yet, in this case Egypt has sadly shown complete disregard for its international covenants.

I urge you to ensure that all MB detainees, who have been handed down prison terms, are immediately released and are allowed their right to peacefully express their political opinions and interests.

I look forward to an early reply.

Yours sincerely,

Dato' Seri Tuan Guru Haji Abdul Hadi Awang
President
Islamic Party of Malaysia Read more!

Jangan guna parlimen untuk kepentingan politik individu - Sultan Mizan

KUALA LUMPUR, 29 April (Hrkh) - Duli Yang Maha Mulia Seri Paduka Baginda Yang di-Pertuan Agong, Al-Watiqubillah Sultan Mizan Zainal Abidin ibni Almarhum Sultan Mahmud al-Muktafi Billah Shah dalam titah baginda di parlimen pagi tadi, meminta ahli-ahli Dewan Rakyat yang terpilih supaya menjalankan tugas dan tanggungjawab dengan penuh dedikasi, ikhlas, jujur serta sentiasa menunjukkan tingkah laku yang terpuji demi maruah diri dan negara.

ImageBaginda bertitah demikian di Mesyuarat Pertama Penggal Pertama Parlimen ke-12, di Parlimen pagi tadi.

Baginda menegaskan, ini adalah disebabkan penghormatan dan keyakinan rakyat kepada Parlimen sebagai sebuah badan perundangan tertinggi negara bergantung kepada peranan ahli Dewan Rakyat.

"Jadikanlah dewan yang mulia sebagai persada untuk menyampaikan teguran yang membina dan pendapat-pendapat yang bernas dan hendaklah menjadikan kepentingan negara sebagai matlamat utama dan tidak menggunakan dewan yang mulia ini bagi kepentingan politik individu," tegas baginda.

Justeru baginda meminta penyertaan aktif dan perbahasaan yang berkualiti hendaklah menjadi keutamaaan ahli dewan rakyat.



ImageDalam masa yang sama, baginda meminta kerajaan memajukan sektor pertanian dengan matlamat menjadikannya sebagai penjana ketiga pertumbuhan ekonomi negara melalui tranformasi daripada pertanian tradisional kepada entiti komersial.

Baginda juga melahirkan rasa gembira kerana Malaysia diiktiraf sebagai peneraju pensijilan halal.

Baginda turut menegaskan, pencapaian ekonomi yang dinikmati selama ini tidak akan bermakna sekiranya rasuah, salahguna kuasa dan penyelewengan masih berlaku.

Justeru, baginda berkata, sepertimana yang diumumkan Perdana Menteri, usaha-usaha pembanterasan rasuah akan dipertingkat melalui perstrukturan semula BPR dan menubuhkan suruhanjaya pencegahan rasuah Malaysia, jawatankuasa Parlimen Imagebebaskan rasuah, dan lembaga penasihat pencegahan rasuah serta penambahan bilangan pegawai pencegah rasuah.

Baginda turut berkata, kerajaan komited untuk mengadakan penambahbaikan memperkasakan sistem kehakiman negara supaya terus kekal adil, dihormati dan bebas dari sebarang pengaruh selari dengan hasrat rakyat.

"Sistem kehakiman yang adil dan efektif adalah penting untuk meningkatkan keyakinan rakyat terhadap sistem perundangan negara. Sehubungan itu, suruhanjaya pelantikan hakim akan ditubuhkan bagi membantu menilai dan memilih calon yang sesuai untuk dilantik sebagai hakim," titah baginda.

Baginda turut bertitah, pembangunan kerohanian juga penting bagi meningkatkan kesejahteraan umat.

Image"Beta memandang berat gejala sosial seperti penagihan dadah, penyelewengan akidah, dan sebagainya yang boleh menjejaskan kesucian Islam," titah baginda lagi.

Baginda turut bertitah bahawa pilihan raya umum telahpun berlalu dan rakyat memberi mandat sekali lagi kepada kerajaan untuk mentadbir negara.

Oleh itu, baginda menasihatkan ahli-ahli Yang Berhormat menunjukkan sifat dan tingkah laku yang terpuji agar nama baik dewan mulia sentiasa terpelihara.

"Laksanakanlah kepercayaan yang diberi oleh rakyat dengan mengambil bahagian yang aktif dengan penuh tanggungjawab dalam semangat demokrasi berparlimen," titah baginda lagi. - mks.

Read more!